Keterbukaan Data Perbankan untuk Pajak

   Indonesia mulai menerapkan sistem keterbukaan data perbankan mulai 2017. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari disetujuinya perjanjian Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange System of Information (AEoI) antarnegara dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Turki tahun lalu. Melalui sistem ini, wajib pajak yang membuka rekening di negara lain akan langsung terlacak oleh otoritas pajak negara asal. 

    Seperti diketahui, pemerintah Indonesia telah menyepakati perjanjian pertukaran data perpajakan dan data perbankan pada 2018 untuk menekan pemangkiran pajak. Perjanjian ini disepakati oleh negara-negara anggota G-20 dan akan diterapkan oleh 97 negara. Pertukaran data perpajakan ini diharapkan bisa mendukung kinerja petugas pajak dalam meredam kecurangan perpajakan. 

  Kesempatan tersebut dinilai sangat bermanfaat bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memperluas basis data wajib pajak (WP). Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Irawan, mengatakan selama ini khususnya di Indonesia liberalisasi data masih terbentur oleh UU Perbankan tentang kerahasiaan data. 

  Namun nantinya di dalam draf revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) ditekankan adanya upaya membangun sistem pengawasan dan penegakan hukum perpajakan melalui pembentukan basis data yang kuat.

    Beberapa poin penting yang akan dibahas yakni meniadakan kerahasiaan data yang diatur dalam perundang-undangan lain, mengikut sertakan masyarakat dalam memberikan data serta melakukan kerja sama dengan instansi maupun negara lain baik nasional maupun internasional. Hal tersebut meringankan petugas pemeriksa pajak dalam melakukan pengumpulan data WP. 

    Proses pembahasan revisi UU Perbankan saat ini masih bergulir di DPR. Masih ada poin-poin dalam revisi yang masih terus dibahas. Salah satu yang krusial adalah keterbukaan data nasabah untuk kepentingan  perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP) menginginkan diberi akses data perbankan wajib pajak agar bisa dihitung kewajiban riil seorang wajib pajak.

  Masalah itu sudah menjadi perdebatan. Ada yang menganggap jika data nasabah dibuka, data itu rawan disalahgunakan. Ada juga yang tegas menyebut data nasabah itu adalah rahasia yang tak bisa ditembus kecuali yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang. Misalnya untuk kepentingan penyidikan perkara pidana.

     DJP berpandangan keamanan data nasabah akan dijamin jika akses diberikan.  Malah data nasabah perbankan asing untuk kepentingan perpajakan sudah dibuka bagi negara-negara yang bekerjasama dengan Indonesia dalam Common Reporting Standard. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/POJK.03/2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Diatur juga dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 125/PMK.010/2015 tentang Perubahan Atas PMK No 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange of Information).

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan: 25/POJK.03/2015
Peraturan Menteri Keuangan (PMK): 125/PMK.010/2015

   Permasalahannya terletak pada UU Perbankan yang tidak mengizinkan data dibuka kepada pihak DJP kecuali untuk kepentingan penyidikan. Masalahnya, belum jelas kapan revisi UU Perbankan rampung. Dalam draft revisi pun, data nasabah masih belum mendapatkan lampu hijau untuk boleh dibuka.

   Sejauh ini data nasabah asing sudah dibuka bagi negara-negara asal nasabah yang sudah bekerjasama dengan Indonesia. Aturan pun sudah dikeluarkan. Namun hal tersebut justru belum berlaku di dalam negeri.

Sumber:
Hukum Online
Republika
CNN Indonesia

Komentar